Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (独立準備調査会 Dokuritsu
Junbii Chōsakai?)adalah sebuah badan yang
dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada
tanggal 1 Maret 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito.
Badan ini dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan
menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia.
BPUPKI beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman
Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji
Soeroso.
Di luar anggota BPUPKI, dibentuk sebuah Badan Tata
Usaha (semacam sekretariat) yang beranggotakan 60 orang. Badan Tata Usaha ini
dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso dengan wakil Mr. Abdoel Gafar
Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko(orang Jepang). Tugas
dari BPUPKI sendiri adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan
dengan aspek-aspek poplitik, ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal yang
diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesiamerdeka.
Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan
BPUPKI dan kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu
Junbi Inkai, dengan anggota berjumlah 21 orang, sebagai upaya untuk
mencerminkan perwakilan dari berbagai etnis di wilayah Hindia-Belanda[1],
terdiri dari: 12 orang asal Jawa,
3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi,
1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asalMaluku, 1 orang
asal etnis Tionghoa.
Awal
persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI
Kekalahan
Jepang dalam perang Pasifik semakin jelas, Perdana Menteri Jepang, Jenderal
Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Indonesia akan
dimerdekakan kelak, sesudah tercapai kemenangan akhir dalam perang Asia Timur
Raya. Dengan cara itu, Jepang berharap tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat
Indonesia sebagai penyerbu negara mereka, sehingga pada tanggal 1 Maret 1945
pimpinan pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi
Harada, mengumumkan dibentuknya suatu badan khusus yang bertugas menyelididki
usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, yang dinamakan "Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (BPUPKI) atau
dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai. Pembentukan BPUPKI juga untuk
menyelidiki, mempelajari dan memepersiapakan hal-hal penting lainnya yang
terkait dengan masalah tata pemerintahan guna mendirikan suatu negara Indonesia
merdeka.
BPUPKI resmi
dibentuk pada tanggal 1 Maret 1945, bertepatan dengan ulang tahun kaisar
Jepang, Kaisar Hirohito. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman
Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, ditunjuk menjadi ketua BPUPKI
dengan didampingi oleh dua orang ketua muda (wakil ketua), yaitu Raden Pandji
Soeroso dan Ichibangase Yosio (orang Jepang). Selain menjadi ketua muda, Raden
Pandji Soeroso juga diangkat sebagai kepala kantor tata usaha BPUPKI (semacam
sekretariat) dibantu Masuda Toyohiko dan Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo. BPUPKI
sendiri beranggotakan 69 orang, yang terdiri dari: 62 orang anggota aktif
adalah tokoh utama pergerakan nasional Indonesia dari semua daerah dan aliran,
serta 7 orang anggota istimewa adalah perwakilan pemerintah pendudukan militer
Jepang, tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak mempunyai hak suara
(keanggotaan mereka adalah pasif, yang artinya mereka hanya hadir dalam sidang
BPUPKI sebagai pengamat saja).
Selama
BPUPKI berdiri, telah diadakan dua kali masa persidangan resmi BPUPKI, dan juga
adanya pertemuan-pertemuan yang tak resmi oleh panitia kecil di bawah BPUPKI,
yaitu adalah sebagai berikut :
Sidang resmi
pertama
Persidangan
resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945
Pada tanggal
28 Mei 1945, diadakan upacara pelantikan dan sekaligus seremonial pembukaan
masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung "Chuo Sangi In", yang
pada zaman kolonial Belanda gedung tersebut merupakan gedung Volksraad (dari
bahasa Belanda, semacam lembaga "Dewan Perwakilan Rakyat
Hindia-Belanda" di masa penjajahan Belanda), dan kini gedung itu dikenal
dengan sebutan Gedung Pancasila, yang berlokasi di Jalan Pejambon 6 – Jakarta.
Namun masa persidangan resminya sendiri (masa persidangan BPUPKI yang pertama)
diadakan selama empat hari dan baru dimulai pada keesokan harinya, yakni pada
tanggal 29 Mei 1945, dan berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan
tujuan untuk membahas bentuk negara Indonesia, filsafat negara "Indonesia
Merdeka" serta merumuskan dasar negara Indonesia.
Upacara
pelantikan dan seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama ini
dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI dan juga dua orang pembesar militer
jepang, yaitu: Panglima Tentara Wilayah ke-7, Jenderal Izagaki, yang menguasai
Jawa serta Panglima Tentara Wilayah ke-16, Jenderal Yuichiro Nagano. Namun
untuk selanjutnya pada masa persidangan resminya itu sendiri, yang berlangsung
selama empat hari, hanya dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI.
Sebelumnya
agenda sidang diawali dengan membahas pandangan mengenai bentuk negara
Indonesia, yakni disepakati berbentuk "Negara Kesatuan Republik
Indonesia" ("NKRI"), kemudian agenda sidang dilanjutkan dengan
merumuskan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk hal ini, BPUPKI
harus merumuskan dasar negara Republik Indonesia terlebih dahulu yang akan
menjiwai isi dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia itu
sendiri, sebab Undang-Undang Dasar adalah merupakan konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Guna
mendapatkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat,
maka agenda acara dalam masa persidangan BPUPKI yang pertama ini adalah
mendengarkan pidato dari tiga orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia,
yang mengajukan pendapatnya tentang dasar negara Republik Indonesia itu adalah
sebagai berikut :
Sidang
tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato mengemukakan
gagasan mengenai rumusan lima asas dasar negara Republik Indonesia, yaitu: “1.
Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan;
dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
Sidang
tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakan gagasan
mengenai rumusan lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan
"Dasar Negara Indonesia Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2.
Kekeluargaan; 3. Mufakat dan Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
Sidang
tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai
rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan
"Pancasila", yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme dan
Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5.
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Gagasan
mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia yang dikemukakan
oleh Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila",
masih menurut dia bilamana diperlukan gagasan mengenai rumusan Pancasila ini
dapat diperas menjadi "Trisila" (Tiga Sila), yaitu: “1.
Sosionasionalisme; 2. Sosiodemokrasi; dan 3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan”.
Bahkan masih menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut bila hendak diperas
kembali dinamakannya sebagai "Ekasila" (Satu Sila), yaitu merupakan
sila: “Gotong-Royong”, ini adalah merupakan upaya dari Bung Karno dalam
menjelaskan bahwa konsep gagasan mengenai rumusan dasar negara Republik
Indonesia yang dibawakannya tersebut adalah berada dalam kerangka
"satu-kesatuan", yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Masa
persidangan BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan sebutan detik-detik
lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni ditetapkan dan diperingati sebagai hari
lahirnya Pancasila.
Pidato dari
Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI yang pertama,
setelah itu BPUPKI mengalami masa reses persidangan (periode jeda atau
istirahat) selama satu bulan lebih. Sebelum dimulainya masa reses persidangan,
dibentuklah suatu panitia kecil yang beranggotakan 9 orang, yang dinamakan
"Panitia Sembilan" dengan diketuai oleh Ir. Soekarno, yang bertugas
untuk mengolah usul dari konsep para anggota BPUPKI mengenai dasar negara
Republik Indonesia.
Masa antara
sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua[sunting | sunting sumber]
Naskah Asli
"Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" yang dihasilkan
oleh "Panitia Sembilan" pada tanggal 22 Juni 1945
Sampai akhir
dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, masih belum ditemukan titik temu
kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar
tepat, sehingga dibentuklah "Panitia Sembilan" tersebut di atas guna
menggodok berbagai masukan dari konsep-konsep sebelumnya yang telah dikemukakan
oleh para anggota BPUPKI itu. Adapun susunan keanggotaan dari "Panitia
Sembilan" ini adalah sebagai berikut :
Ir. Soekarno
(ketua)
Drs.
Mohammad Hatta (wakil ketua)
Mr. Raden
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)
Mr. Prof.
Mohammad Yamin, S.H. (anggota)
Kiai Haji
Abdul Wahid Hasjim (anggota)
Abdoel Kahar
Moezakir (anggota)
Raden
Abikusno Tjokrosoejoso (anggota)
Haji Agus
Salim (anggota)
Mr.
Alexander Andries Maramis (anggota)
Sesudah
melakukan perundingan yang cukup sulit antara 4 orang dari kaum kebangsaan
(pihak "Nasionalis") dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak
"Islam"), maka pada tanggal 22 Juni 1945 "Panitia Sembilan"
kembali bertemu dan menghasilkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang
kemudian dikenal sebagai "Piagam Jakarta" atau "Jakarta
Charter", yang pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai sebuah
"Gentlement Agreement". Setelah itu sebagai ketua "Panitia
Sembilan", Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil yang
dipimpinnya kepada anggota BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan
"Indonesia Merdeka" yang disebut dengan "Piagam Jakarta"
itu. Menurut dokumen tersebut, dasar negara Republik Indonesia adalah sebagai
berikut :
Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
Kemanusiaan
yang adil dan beradab,
Persatuan
Indonesia,
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rancangan
itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam masa persidangan BPUPKI yang
kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.
Di antara
dua masa persidangan resmi BPUPKI itu, berlangsung pula persidangan tak resmi
yang dihadiri 38 orang anggota BPUPKI. Persidangan tak resmi ini dipimpin
sendiri oleh Bung Karno yang membahas mengenai rancangan "Pembukaan
(bahasa Belanda: "Preambule") Undang-Undang Dasar 1945", yang
kemudian dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan BPUPKI yang kedua (10
Juli-17 Juli 1945).
Sidang resmi
kedua
Persidangan
resmi BPUPKI yang kedua pada tanggal 10 Juli-14 Juli 1945
Masa
persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal 10 Juli 1945 hingga
tanggal 17 Juli 1945. Agenda sidang BPUPKI kali ini membahas tentang wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewarganegaraan Indonesia, rancangan
Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, serta
pendidengajaran. Pada persidangan BPUPKI yang kedua ini, anggota BPUPKI
dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil. Panitia-panitia kecil yang terbentuk
itu antara lain adalah: Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (diketuai oleh
Ir. Soekarno), Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai oleh Raden Abikusno
Tjokrosoejoso), dan Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).
Pada tanggal
11 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh
Ir. Soekarno, membahas pembentukan lagi panitia kecil di bawahnya, yang
tugasnya adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang
beranggotakan 7 orang yaitu sebagai berikut :
Prof. Mr.
Dr. Soepomo (ketua panitia kecil)
Mr. KRMT
Wongsonegoro (anggota)
Mr. Raden
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)
Mr.
Alexander Andries Maramis (anggota)
Mr. Raden
Panji Singgih (anggota)
Haji Agus
Salim (anggota)
Dr. Soekiman
Wirjosandjojo (anggota)
Pada tanggal
13 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh
Ir. Soekarno, membahas hasil kerja panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya
adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7
orang tersebut.
Pada tanggal
14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang
Undang-Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir.
Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas mengenai rancangan Undang-Undang
Dasar yang di dalamnya tercantum tiga masalah pokok yaitu :
Pernyataan
tentang Indonesia Merdeka
Pembukaan
Undang-Undang Dasar
Batang tubuh
Undang-Undang Dasar yang kemudian dinamakan sebagai "Undang-Undang Dasar
1945", yang isinya meliputi :
Wilayah
negara Indonesia adalah sama dengan bekas wilayah Hindia-Belanda dahulu,
ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang adalah wilayah Sabah dan wilayah
Serawak di negara Malaysia, serta wilayah negara Brunei Darussalam), Papua,
Timor-Portugis (sekarang adalah wilayah negara Timor Leste), dan pulau-pulau di
sekitarnya,
Bentuk
negara Indonesia adalah Negara Kesatuan,
Bentuk
pemerintahan Indonesia adalah Republik,
Bendera
nasional Indonesia adalah Sang Saka Merah Putih,
Bahasa
nasional Indonesia adalah Bahasa Indonesia.
Konsep
proklamasi kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya akan disusun dengan
mengambil tiga alenia pertama "Piagam Jakarta", sedangkan konsep
Undang-Undang Dasar hampir seluruhnya diambil dari alinea keempat "Piagam
Jakarta". Sementara itu, perdebatan terus berlanjut di antara peserta
sidang BPUPKI mengenai penerapan aturan Islam, Syariat Islam, dalam negara
Indonesia baru. "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter"
pada akhirnya disetujui dengan urutan dan redaksion yang sedikit berbeda.
Persiapan
kemerdekaan dilanjutkan oleh PPKI
Persidangan
resmi PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945
Pada tanggal
7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah dapat menyelesaikan
tugasnya dengan baik, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang Dasar bagi negara
Indonesia Merdeka, dan digantikan dengan dibentuknya "Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia" ("PPKI") atau dalam bahasa Jepang:
Dokuritsu Junbi Inkai dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.
Tugas
"PPKI" ini yang pertama adalah meresmikan pembukaan (bahasa Belanda:
preambule) serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tugasnya yang kedua
adalah melanjutkan hasil kerja BPUPKI, mempersiapkan pemindahan kekuasaan dari
pihak pemerintah pendudukan militer Jepang kepada bangsa Indonesia, dan
mempersiapkan segala sesuatu yang menyangkut masalah ketatanegaraan bagi negara
Indonesia baru.
Anggota
"PPKI" sendiri terdiri dari 21 orang tokoh utama pergerakan nasional
Indonesia, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari berbagai etnis di
wilayah Hindia-Belanda, terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal
Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda
Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa.
"PPKI" ini diketuai oleh Ir. Soekarno, dan sebagai wakilnya adalah
Drs. Mohammad Hatta, sedangkan sebagai penasihatnya ditunjuk Mr. Raden Achmad
Soebardjo Djojoadisoerjo. Kemudian, anggota "PPKI" ditambah lagi
sebanyak enam orang, yaitu: Wiranatakoesoema, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman
Singodimedjo, Mohamad Ibnu Sayuti Melik, Iwa Koesoemasoemantri, dan Mr. Raden
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.
Secara
simbolik "PPKI" dilantik oleh Jendral Terauchi, pada tanggal 9
Agustus 1945, dengan mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr.
Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat ke "Kota Ho Chi
Minh" atau dalam bahasa Vietnam: Thành phố Hồ Chí Minh (dahulu bernama:
Saigon), adalah kota terbesar di negara Vietnam dan terletak dekat delta Sungai
Mekong.
Pada saat
"PPKI" terbentuk, keinginan rakyat Indonesia untuk merdeka semakin
memuncak. Memuncaknya keinginan itu terbukti dengan adanya tekad yang bulat
dari semua golongan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia.
Golongan muda kala itu menghendaki agar kemerdekaan diproklamasikan tanpa
kerjasama dengan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang sama sekali,
termasuk proklamasi kemerdekaan dalam sidang "PPKI". Pada saat itu
ada anggapan dari golongan muda bahwa "PPKI" ini adalah hanya merupakan
sebuah badan bentukan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang. Di lain pihak
"PPKI" adalah sebuah badan yang ada waktu itu guna mempersiapkan
hal-hal yang perlu bagi terbentuknya suatu negara Indonesia baru.
Tetapi cepat
atau lambatnya kemerdekaan Indonesia bisa diberikan oleh pemerintah pendudukan
militer Jepang adalah tergantung kepada sejauh mana semua hasil kerja dari
"PPKI". Jendral Terauchi kemudian akhirnya menyampaikan keputusan
pemerintah pendudukan militer Jepang bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan
pada tanggal 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan pelaksanaan kemerdekaan
Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada "PPKI". Dalam suasana mendapat
tekanan atau beban berat seperti demikian itulah "PPKI" harus bekerja
keras guna meyakinkan dan mewujud-nyatakan keinginan atau cita-cita luhur
seluruh rakyat Indonesia, yang sangat haus dan rindu akan sebuah kehidupan
kebangsaan yang bebas, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Ir. Soekarno
membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah diketik
oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik dan telah ditandatangani oleh Soekarno-Hatta
Sementara
itu dalam sidang "PPKI" pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam hitungan
kurang dari 15 menit telah terjadi kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi
politik dari pihak kaum keagamaan yang beragama non-Muslim serta pihak kaum
keagamaan yang menganut ajaran kebatinan, yang kemudian diikuti oleh pihak kaum
kebangsaan (pihak "Nasionalis") guna melunakkan hati pihak
tokoh-tokoh kaum keagamaan yang beragama Islam guna dihapuskannya "tujuh
kata" dalam "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter".
Setelah itu
Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang "PPKI" dan membacakan
empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik tersebut.
Hasil perubahan yang kemudian disepakati sebagai "pembukaan (bahasa
Belanda: "preambule") dan batang tubuh Undang-Undang Dasar
1945", yang saat ini biasa disebut dengan hanya UUD '45 adalah :
Pertama,
kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan
kata “Pembukaan”.
Kedua, anak
kalimat "Piagam Jakarta" yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, diganti dengan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ketiga,
kalimat yang menyebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama
Islam”, seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret
kata-kata “dan beragama Islam”.
Keempat,
terkait perubahan poin Kedua, maka pasal 29 ayat 1 dari yang semula berbunyi:
“Negara berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan Syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi berbunyi: “Negara berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
"PPKI"
sangat berperan dalam penataan awal negara Indonesia baru. Walaupun kelompok
muda kala itu hanya menganggap "PPKI" sebagai sebuah lembaga buatan
pihak pemerintah pendudukan militer Jepang, namun terlepas dari anggapan
tersebut, peran serta jasa badan ini sama sekali tak boleh kita remehkan dan
abaikan, apalagi kita lupakan. Anggota "PPKI" telah menjalankan tugas
yang diembankan kepada mereka dengan sebaik-baiknya, hingga pada akhirnya
"PPKI" dapat meletakkan dasar-dasar ketatanegaraan yang kuat bagi
negara Indonesia yang saat itu baru saja berdiri.